Research Center ITS Surabaya – Kurikulum merdeka dan merdeka belajar masih menjadi topik pembahasan yang menarik. Pembahasan seputar kurikulum merdeka tidak hanya tentang perubahan paradigma dalam pendidikan, juga sejauh mana kurikulum merdeka dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Masih terkait dengan ulasan tersebut, pekan lalu pada tanggal 30 Mei 2024, Dewan Profesor (DP) ITS menggelar sarasehan tentang merdeka belajar. Dalam gelaran sarasehan tersebut, DP ITS menghadirkan para pakar pendidikan dari perguruan tinggi, yaitu guru besar dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) serta dari ITS. Bertempat di auditorium Research Center ITS, sarasehan diikuti oleh sekitar 125 akademisi, yang terdiri dari kepala sekolah dan guru sekolah dasar hingga menengah dari kota-kota besar di Indonesia. Ketua Dewan Profesor ITS, Prof. Dr. Ir. Imam Robandi, M.T, dalam sambutannya menyampaikan ucapan terima kasih kepada para narasumber yang berkenan hadir dan membagi pengalaman terkait merdeka belajar, juga kepada perwakilan dari 32 institusi SD/MI, SMP, SMA, SMK dan universitas dari Malang, Surabaya, Blitar, Kediri, Lamongan, Probolinggo, Bojonegoro, Madiun, Sragen, Blora, Karanganyar, Kudus, Jakarta, yang hadir sebagai audien dalam sarasehan. Menurut guru besar Teknik Elektro ini, tujuan dari sarasehan ini adalah agar semua pegiat pendidikan dapat menerapkan merdeka belajar untuk mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan, relevansi kurikulum, serta kelebihan dan kekurangan program.
Sesuai dengan tema sarasehan, yaitu evaluasi merdeka belajar untuk usaha peningkatan kualitas pendidikan Indonesia, diskusi diawali dengan ulasan tentang merdeka belajar oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, S.H., M.A., Ph.D. Guru besar dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini mengulas tentang merdeka belajar yang diterapkan di perguruan tinggi, terutama tentang manfaat Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Penerapan MBKM memberikan manfaat di antaranya kebebasan dalam pembelajaran, kesempatan belajar di luar kampus, membuka peluang untuk kerjasama dengan industri, kurikulum yang fleksibel, serta keleluasaan kepada perguruan tinggi untuk membuka program studi baru. Di samping manfaat, Prof Tuti juga menjelaskan tentang tantangan yang dihadapi dalam penerapan MBKM. Terdapat perubahan paradigma dalam menerapkan merdeka belajar, tantangannya tentu dibutuhkan kesiapan dosen atau guru, kesiapan mahasiswa atau siswa, kesiapan perancangan dan pengelolaan kurikulumnya. Kesiapan infrastruktur dan kesiapan dana juga perlu dipikirkan, utamanya jika kegiatan dilakukan di luar kampus. Berkaca pada tantangan dan manfaat yang telah diulas, pakar hukum dari UI ini menyampaikan bahwa merdeka belajar seharusnya dapat meningkatkan hard skill dan soft skill mahasiswa atau siswa. Selain itu, merdeka belajar dapat menambah kesiapan mahasiswa dalam menghadapi perubahan lingkungan, serta dapat beradaptasi dengan tata nilai kehidupan dan menjawab kebutuhan jaman.
Pembicara sarasehan yang kedua adalah Prof. Dr. Fuad Abdul Hamied, M.A., Ph.D. Guru besar dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini mengulas tentang peningkatan kompetensi (knowledge, skill, attitude) di perguruan tinggi. Bahwa salah satu tujuan merdeka belajar di perguruan tinggi, yaitu mengembangkan kompetensi mahasiswa dalam hal pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Selain juga untuk meningkatkan keterampilan praktis dan soft skills mahasiswa.. Prof. Fuad menyampaikan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, maka merdeka belajar yang diterapkan perlu mempertimbangkan pada empat aspek, yaitu Strenghts, Weaknesses, , Opportunities, Threats (SWOT). Menurut Prof. Fuad, strenghts dari merdeka belajar terletak pada fleksibilitas kurikulum, pengembangan softskill dari siswa, dan peningkatan akses ke sumber belajar global. Sedangkan pada sisi weaknesses, penerapan merdeka belajar masih kurang persiapan pada aspek infrastruktur, tenaga pengajar, serta tingkat adaptasi siswa yang belum merata. Pada aspek opportunities, merdeka belajar nampak pada kerjasama industri yang semakin luas, peningkatan kompetensi global, serta kemungkinan untuk berinovasi dalam pembelajaran sehingga berpeluang dalam peningkatan kualitas pendidikan. Threats yang muncul dari merdeka belajar menurut Prof Fuad, terletak pada perubahan kebijakan yang tidak mempertimbangkan waktu dan kesiapan, juga pada kesenjangan digital di setiap daerah, serta pendanaan untuk kegiatan. Kesemuanya itu menimbulkan dilema, khususnya bagi pelaku dalam hal ini, siswa, tenaga pengajar dan lembaga. Dilematis dalam merdeka belajar diantaranya adalah hak siswa untuk memperoleh liputan keilmuan yang kurang, karena disebabkan fleksibilitas kurikulum. Selain itu adanya irrelevansi bidang keilmuan dalam kegiatan belajar di luar kampus, belum lagi unsur-unsur formalisme yang bertentangan dengan kejujuran kademik. Oleh sebab itu, untuk membuat sebuah perubahan atau kebijakan baru, perlu dilakukan observasi dan penelitian, yang nantinya dapat digunakan sebagai landasan yuridis, filosofis dan sosiologis sebagai penguat kebijakan.
Sebagai invited speaker yang ketiga yaitu Prof. Drs. Suyanto, M.Ed., Ph.D. juga mengupas tentang persoalan pendidikan yang muncul dari penerapan merdeka belajar. Guru besar fakultas ekonomi dari Universitas Negeri Yogyakarta ini berpendapat bahwa masih terdapat kelemahan dalam MBKM. Kelemahan itu antara lain MBKM masih terlalu liberal dan belum ada kejelasan standarisasi. Di samping itu, kesiapan infrastuktur yang belum dimiliki oleh semua perguruan tinggi. Ada pula persoalan alignment (penyelarasan) antara kurikulum yang ada dengan kurikulum MBKM. Masih ditambah dengan sedikitnya mitra dalam kegiatan studi independent dan magang. Dari beberapa persoalan tersebut, kualitas pendidikan yang belum tercapai secara nasional. Relevansi (ada upaya serius – persoalan sosiologis kultural), daya saing yang belum optimal, akses berkeadilan yang kurang diperhatikan dalam merdeka belajar, efisiensi dan efektivitas yang kurang dipertimbangkan. Dalam argumentasinya, efektivitas merdeka belajar dapat terwujud apabila desain kurikulum dibuat dengan kriteria berikut, yaitu menimbulkan tantangan, ada keluasan, progresi dan kedalaman materi, menawarkan personalisasi dan pilihan untuk peserta didik, koheren, dan relevan.
Pembicara keempat yaitu Prof. Ir. Renanto, M.Sc., Ph.D. dari ITS lebih banyak mengulas tentang penerapan merdeka belajar dalam pembelajaran teknologi. Menurut Prof Renanto, Kampus Merdeka merupakan bagian dari kebijakan Merdeka Belajar oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang memberikan seluruh mahasiswa kesempatan untuk mengasah kemampuan sesuai bakat dan minat dengan terjun langsung ke dunia kerja sebagai langkah persiapan karier. Penerapanprogram Kampus Merdeka, memberi manfaat dalam hal kegiatan yang berkaitan dengan MBKM, dapat dikonversi menjadi SKS. Selain itu kampus dapat memperluas jaringan hingga ke luar program studi dan universitas. Mahasiswa dapat melakukan eksplorasi pengetahuan dan kemampuan di lapangan selama lebih dari satu semester, juga dapat menimba ilmu secara langsung dari mitra berkualitas dan terkemuka. Prof Renanto juga menjelaskan bahwa ketika menjadi dosen wali dari mahasiswa semester 7 yang sedang magang di perusahaan FMCG di Sumatera Utara. Mahasiswa melakukan penelitian di pabrik tersebut, dan hasil penelitian telah dipublikasikan sebagai jurnal ilmiah internasional dan seminar internasional bereputasi. Luaran dari kegiatan magang mahasiswa tersebut dapat dikonversikan SKS hingga selesai 8 semester. Keuntungan lainnya, mahasiswa dapat bekerja di industri sesuai jurusan. Program MBKM dapat dikatakan efektif apabila magang dalam merdeka belajar sesuai dengan program sarjana yang kemudian mengantarkan lulusan segera bekerja di lapangan (industri) dan kegiatan riset. Di samping itu merdeka belajar dapat menambah wawasan bagi lulusan dengan banyak exposure terhadap lingkungan luar. Yang terpenting, perlu adanya koordinasi yang baik antara pihak perguruan tinggi asal, dengan institusi magang agar masa studi mahasiswa magang tidak lebih lama.
Kontributor : Raiyan Adi, its.ac.id