Imam RobandiAkademisi yang bertinggal di Surabaya

Pilpres dan Pileg sudah selesai, ada yang menjadi pemenang dan ada yang ‘ketiban pulung’ menjadi yang kalah. Ada yang memperoleh kursi ada yang kehilangan kursi. Semua harus disyukuri. Itu adalah kehidupan dunia yang selalu ada yang ‘ngakak gumuyu’ dan ada yang menangis menggeru-geru. Sebelum hari pungutan suara, semua calon dan teamnya bertempur ‘mati-matian’ untuk merebut juara yang seolah-olah saling menjadi lawan bebuyutan. Kehidupan manusia untuk selamanya adalah tidak harus seperti itu. Semua yang seperti lawan boleh juga diredam menjadi kawan, agar semua okey dan dapat tersenyum. Yang membantu ‘banda, jiwa, dan raga’ akan memperoleh hadiyah jabatan ini-itu sepantasnya, sedangkan yang dulu dianggap lawan juga boleh memperoleh hadiyah spesial jika ingin bergabung.  Oleh sebab itu, semua menjadi sangat istimewa, diberi karpet merah. Yang pergi ke utara dapat tersenyum, dan yang ke selatan juga dapat tertawa lebar. Teori demokrasi mendefinisikan ada penguasa dan ada oposisi, dan ini mungkin hanya sekadar meninggalkan catatan saja di bawah meja bahwa kita pernah berlomba untuk memperebutan ‘kue-kue manis’ yang kemebul.  ‘Satron’, tidak saling mengundang, pindah rombongan sana-sini, dan geguyonan dalam acara debat dan podcasting adalah acara tontonan kehidupan saja. Itu adalah panggung-panggung, yang disediakan untuk rakyat agar terhibur. 

Prof Imam Robandi dan team sedang menikmati keindahan lereng Gunung Semeru (Sumber : Munali)

Menikmati sebuah cuplikan lagu-lagu Karya Eyang Gesang, membersamai saya pagi hari nan indah, Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei untuk dapat menerawang ke mana-mana. Berjumpa dengan sebuah hari yang sangat bersejarah, ‘Hari Kebangkitan Nasional’ ini rasanya menjadi bagaimana, sebuah tantangan yang kita semua harus bangkit yang seolah-olah kita masih atau sedang tidur nyenyak dan tidak ada yang membangunkan.

Rasanya kita dari dulu sudah terlalu bangkit, kata Kang Pardjo dosen senior. Tagihan Beban Kerja Dosen, BKD,  setiap semester juga sudah melebihi beban wajib. Bayangkan saja, semua sudah ‘over time over load’ dalam bertridharma, tetapi QS ranking institusinya masih kendor kempis, kata Kang Maman seorang dosen yang senang perankingan, dengan harapan kalau rankingnya naik kesejahteraan juga naik. Ini memang pragmatis, tetapi okey-okey saja. Juga belum tentu ‘orang-orang kita’ menahu makna ‘sejujurnya’ dari sebuah perankingan yang itu sering bersliweran. Artinya dapat diartikan bahwa sedang terjadi siapa mengikuti siapa atau siapa akan mengambil siapa, atau fenomena yang lain. Semua skema global akan semakin terasi ghoib jika diagram alirnya tidak dapat terbaca dengan terang-benderang. Ada seorang rektor memamerkan ranking webometrics institusinya ke saya, dan setelah itu saya bertanya balik, ‘terus setelah memperoleh ranking itu, visi-misi yang sudah dibuat akan diapakan, langkah  berikutnya apa atau berbelok kemana’, tanya saya. Dia hanya tersenyum.   

Lur, hari kemarin adalah hari kebangkitan, milik kita bersama untuk bersemangat membesarkan bangsa ini. Benar kata Yu Minah, dari yang sebelah mana dulu kita harus bangkit. Dia sudah bangun tidur pukul dua pagi membuat gorengan dan mendoan untuk dibawa ke pasar setiap pagi  mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil. Apa bangun sepagi itu masih dinilai kurang pagi atau proses penggorengannya yang belum sesuai dengan standar ISO. Apakah karena masih banyak yang menganggur sehingga bangsa ini juga tidak kunjung makmur.

Yu Minten setiap tahun disuruh bangkit oleh pejabat desanya, minimal semangat, katanya. Dia sudah dua tahun ini tidak dapat membeli kambing qurban, karena sisa uang bulanannya semakin tidak mencukupi untuk ditabung. Untuk sehari-hari agar kendil dan pancinya tidak ‘ngguling’ saja sudah dianggap berprestasi besar. Memang Yu Minten hanya penjual nasi rames dekat terminal, yang untuk mengumpulkan seribu dua ribu rupiyah untuk mempertahan kehidupannya adalah tidak mudah. Saat dia diberi berita bahwa banyak uang dikorupsi di negeri ini, Yu Minten malah bergegas berlari. Dia malah takut kalau mendengar berita yang begitu-begituan, katanya. Dia ingin mendengar berita yang tentram-tentram saja.

Wejangan Ki Sutonoyo seorang pande besi memang ampuh. Apapun kondisinya, kita harus bangkit dari kondisi yang begini-begini saja, katanya. Setelah ada semangat bangkit, barangkali juga akan terpenuhi harapan para keponakannya yang bersekolah, dengan sebentar lagi tidak perlu membawa bekal makanan siangnya dari rumah, karena negara sudah menyediakannya. Seberapapun kontrak kandungan gizi untuk sekali makan siang, Ki Sutonoyo kelihatannya tidak begitu peduli, yang penting ‘waras-wareg’. Ada makan siang gratis saja Yu Tini sudah ‘girang-gumirang’ bahagia tanpa batas, apalagi jika sampai ada tambahan telor ceplok dan susu.

Berbeda memang dengan para penggede yang berdiri di atas podium.  Kata mereka kita akan makmur di tahun 2045. Itu mah.. masih jauh, kata mahasiswa saya. Saya tidak memahami rumus yang mana yang digunakan untuk menghitung kemakmuran, kok rasanya hari ini masih banyak yang ‘ngos-ngosan’ mencari nafkah, tetapi 2045 kok rasanya sudah dekat sekali. Yang penting hari ini, kata Cak Bendol, penjual tahu goreng dan krupuk rambak di tempat mangkal ojek. Bukan itu saja, karena ada juga yang menganggap bahwa ijazah adalah tidak penting, dan katanya juga bahwa kuliyah di perguruan tinggi adalah kebutuhan tersier. Lho katanya kita disuruh menyalip Malaysia dan Singapore, kok kuliyah menjadi tidak penting. Ini adalah cara berpikir aneh yang berseliweran di sekitar kampus kita. Kawan dekat saya dari Gombong menelpon saya, ‘mas, kok mahal sekali kuliyah zaman sekarang’. Hari begini masih  harus membayar UKT dan thethek bengeknya yang puluhan juta rupiyah dengan harus ngap-ngapan, katanya. Ya.. para rektor saja sampeyan telpon, dia diberi nasehat ‘ojo larang-larang’, jawab saya. Bukan itu saja mas, lha banyak teman yang malah bangga dengan UKT mahal dan diceritakan di mana-mana, yang penting anaknya akan lulus menjadi seorang yang ahli bisnis, katanya. 

Yu Silah dan para kawannya juga masih bingung memaknai bangkit yang sebenar-benarnya.  Mereka menjadi guru yang sangat taat sampai sering Sabtu dan Ahad juga harus mengikuti kegiatan sana-sini. Anak-anaknya di rumah jarang tersentuh dan Yu Silah jarang beristirahat, badannya remuk redam berkerja seminggu penuh, otot kesleo kiri-kanan, kurang istirahat, dan apalagi untuk refreshing. Kurang semangat dalam memaknai kebangkitan dari sisi mana coba, ujar Yu Silah. Juga sering terjadi hal yang sangat ironi, karena yayasan ormasnya setiap minggu memamerkan acara-acara  ‘prestisiusnya’ peresmian Gedung-gedung baru atau acara penancapan tiang pancangnya, tetapi yang Yu Silah dan para kawannya peroleh setiap bulannya ya itu-itu saja masih sangat sakurata dan kendor-kempis,  untuk menghidupi keluarganya di rumah saja masih jauh dari harapan. Kata gaji ‘tidak cukup’ sering diredam  dengan kata penglipur lara ‘ikhlas dan pengabdian’ yang selalu diceramahkan di banyak pengajian, sehingga semua ‘nrimo ing pandum’ dalam ketidak-berdayaan sambil menoleh kanan-kiri barangkali adalah peluang lain yang lebih memberi harapan hidup lebih layak. 

Memang tidak ada konklusi, tetapi sebangkit-bangkitnya kita memang harus bangkit. Untuk Hari Kebangkitan Nasional,  saya sederhana saja untuk mencoba melihat meja di dapur, semoga tidak banyak buah import yang tersimpan. Semoga ada buah sawo Madura, kedondong Mojokerto,  blimbing Lamongan, apokat Blitar, dan  Jackfruit dari Dampit, tentu untuk menyambut kebangkitan petani Indonesia agar selalu dapat tersenyum. Saya juga sambil menunggu semoga dalam waktu dekat ada merek sepeda motor produk istimewa negeri ini, muncul di stand-stand  pameran di banyak negara.

May 2024.

By Silvilink

Welcome to my personal website. I am Silvi, a teacher at Muhammadiyah Vocational School in Malang Regency. I have a passion for education, traveling, exploring unique places, and cuisine. I also enjoy writing articles in the newspaper and have written several textbooks and anthology books. I hope you will find the uniqueness, beauty, and benefits within my website. Thank you

14 thoughts on “Semua Bersenyum Untuk Bangkit”
  1. Masya Allah… sebuah tulisan yang dapat menjadi bahan renungan sekaligus keprihatinan, tetapi terkesan ringan dan nyaman dibaca.

    Terimakasih, Prof. Imam dan Bu Silvi

  2. Judulnya, terkesan santai tetapi sangat berbobot, dan penuh makna. Awalnya, saya mengira bumbunya lebih banyak daripada dagingnya. Tetapi, setelah membaca ulang, baru kemudian merasuk ke ubun-ubun.
    Sesungguhnya, saya telah lalai dalam hal kebangkitan nasional sebagai hari bersejarah. Namun, tulisan “Semua Bersenyum untuk Bangkit” adalah benar-benar menggelorakan kebangkitan dengan ikhtiar mengedepankan kepentingan bangsa, mengutamakan persatuan, mendahulukan kewajiban daripada hak, membiasakan diri untuk hidup sederhana, bangga dengan produk dalam negeri, dan setengah mendesak bangsa kita untuk segera berkiprah di bidang industri skala sederhana yaitu kendaraan bermotor “Made in Indonesia”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *