Oleh : Imam Robandi (Bertinggal di Surabaya)
Lebaran Eid 1445 di tahun 2024 ini adalah sangat spesial, karena bersamaan dengan suasana Pilpres dan sedang hiruk-pikuk Sidang MK, dan di kampung-kampung sedang masa-masa prepegan. Prepegan adalah kesibukan para pedagang di pasar yang melayani banyak pembeli pada situasi mendekati hari lebaran seperti hari-hari ini. Yang membeli berbondong-bondong, sedangkan penjualnya sangat sibuk ini-itu sambil melayani pembeli yang senang menawar. Prepegan adalah sebuah kesibukan menjelang lebaran tiba di semua tempat jual beli yang biasa harga-harga selalu lebih mahal daripada harga pada hari biasa. Pendek kata, prepegan adalah situasi kegembiraan yang tidak mudah untuk diungkap dengan kalimat aktif atau pasif bentuk apa pun. Bakul baju anak-anak adalah yang paling laris, walaupun juga ada orang tua yang ingin membeli baju baru. Badan dalam Bahasa Gombong artinya adalah berhari raya, dan berhari raya adalah berbaju baru, dan itu adalah dulu, zaman saya berhidup di kampung. Badan berasal dari kata ba’da, atau sesudah. Ba’da ramadan, atau sesudah bulan Ramadan, yang artinya adalah hari raya Eid Fitri, satu syawal. Kata kerja mrepeg atau mrepegi adalah sama dengan mendekati, artinya bahwa prepegan adalah mendekati hari raya.
Hati Kang Dumin adalah sangat gembira karena anak-anaknya yang di perantauan pulang semua dan di rumahnya menjadi sangat ramai tidak seperti biasanya. Sudah beberapa hari Kang Dumin menyiapkan uborampe lebaran, jenang, pacitan, renngginan, dan yang lain. Kang Dumin akan ikut puasa yang hari Selasa sedangkan anak-anaknya ikut puasa yang hari Senin, atau mendahului satu hari. Puasa dan lebaran ikut hari manapun, prinsip Kang Dumin dan kerluarga adalah bahagia. Sehari-hari kang Dumin Bertani kecil-kecilan, ada padi, ada jagung, ada garut, ada ganyong, dan saat musim kemarau Kang Dumin menanam lembayung, kacang panjang, brambang, bayem, dan ubi jalar. Kehidupan di sebuah kampung yang sangat ayem tentrem, dan loh jinawi. Ada pekerjaan sampingan Kang Dumin, yaitu menjadi blantik sapi dan kambing dan juga menjadi penderes sajeng (nira, legen) untuk dibuat gula merah. Setiap pagi dan sore pongkor (tempat sajeng) selalu bersautan bunyinya dan saat lebaran harus libur. Ini adalah tidak mudah karena jika Kang Dumin libur menderes, maka nira akan berhenti mengalir. Apa pun Kang Dumin harus sumringah hatinya karena dapat berkumpul dengan “anak putu”, dan menantu yang sehat bagas waras.
Sama juga, Kang Dikin, walaupun lebaran dia tidak libur. Dia hanya istirahat saat shalat Eid saja, dan setelah itu tetap berjualan soto lokal yang sangat digemari para pemudik. Kang Dikin sudah menyimpan ayam kampung ukuran jumbo untuk cadangan di hari raya, karena itu adalah modal utama soto Kang Dikin, yaitu harus ada ayam kampung dan jago. Memang soto Kang Dikin adalah selalu dirindukan oleh para pemudik, terutama gorengan gethuknya yang terbuat dari singkong pilihan. Di sini senyuman sebagai bakul soto dari Kang Dikin adalah sambutan kehangatan, yang mungkin dalam hatinya Kang Dikin akan menyampaikan ‘wilujeng kondur’ untuk para sedulur atau sugeng rawuh untuk para tamu. Kedainya adalah sangat kecil, hanya di pinggir jalan raya di dekat pohon asam Jawa, tetapi penggemarnya adalah dari berbagai kota besar di tanah air, terutama adalah para pemudik. Saya biasa pesan 3 mangkok, karena memang mangkoknya adalah kecil mungil jika dibandingkan untuk ukuran mangkok Soto Cak Kandar. Mudik memang selalu situasional, masakan apapun terasa lamak bana dan seger miroso.
Sedulur saderek di daerah Banyumas, Kebumen, Purworejo, Purbalingga, dan Banjarnegara sudah mengirim banyak foto tentang kehirukpikukan daerahnya. Hampir semua pasar besar kecil dipenuhi manusia dan hampir semua warung sate gule kemebul semua. Sepeda motor berderet parkir dengan plat nomor berbeda-beda asal. Mobil-mobil plat L, B, H, D, dan AB ‘tumplek blek’ semua memenuhi pinggir jalan, parkir untuk berbelanja. Mas Yono yang menjaga parkir dengan penuh semangat, semprit sana-semprit sini, “kiri, kiri, kiri”. Semua sibuk dengan ungkapan berbagai bahasa dialek, ada gua, ada antum, dan semua pinggir jalan menjadi sangat ramai. Pasar Bokateja penuh sesak, Pasar Mandiraja dipadati sampai meluber, Pasar Gombong sudah dijamin penuh senggol sana-sini. Bakul dawet, bakul ketupat, bakul ayam, baku lanting, roti moho, dorayaki, dan semua laris manis. Pasar Wage, Pasar Manis, Pasar Pon semua tumplek blek manusia pemudik berseliweran dari berbagai arah, dan semua mententeng tas kresek tangan kanan kiri, dan abang becak dan bentor sudah siap mengantar. Ramai nian, rasa mudik.
Saya melihat Pasar Pucang yang sangat penuh dengan manusia dan sampai bakulnya tidak terlihat, dan hanya bunyi pisau besar dhak dhek dhok untuk mengurus daging. Ada yang memesan krewedan, ada yang buntut, dan ada juga yang khusus memesan tulang. Pasar penuh sesak, dan ada yang membeli daging kambing hanya kepala saja, dan ada yang pesan hanya untuk membuat sop kikil bumbu jangkep. Istri saya memWA saya, “awas hati-hati, kalau umpel-umpelen begitu biasanya banyak copet”. Ya tidak mungkinlah ada copet, jawab saya. Itu yang belanja adalah ibu-ibu, tidak mungkin ada ibu-ibu yang menjadi copet, sambung saya. Memang, pagi-pagi di masa prepegan adalah sangat menggembirakan. Kita melihat orang-orang gembira, sehingga saya pun harus menjadi gembira dan juga penggembira.
Mudik adalah kegembiraan. Mudik adalah menuju udik atau pulang kampung halaman, dan walau pun pulang ke kota juga disebut mudik. Mudik ke Surabaya, mudik ke Jakarta, dan memang agak aneh di telinga, tetapi itu terjadi. Di kampung halaman sudah tidak ada orang tua, ibu, bapak, kakek nenek, sehingga berkumpul lebaran. Walaupun setiap hari sudah saling berjumpa di video call, tetapi pertemuan offline di tempat mudik tetap menjadi nuansa yang menyenangkan. Mungkin ada yang membuat tumpengan, memanggang kambing guling dan BBQ, atau hanya sekadar emping atau rengginang dengan sirup marjan, dan itupun sudah lebih dari bahagia. Semua bercerita tentang anak-anaknya yang sukses di kota, yang penting papa mamahnya yang di kampung harus berbaju baru. Yang teman SMA bertemu dengan sesama almamaternya dan mencari warung makan yang cocok untuk mengobrol ngalor-ngidul sambil KSBB, atau ‘kelingan sing biyen-biyen’. Pulang dengan membawa seribu cerita di perantauan sambil sebentar-sebentar melihat hpnya masing-masing. Ani sekarang di mana, Endang sekarang di mana, Joko sekarang di mana, dan semua bernostalgia sesuai memori masa lalu masing-masing.
Memang, pada masa mudik semua berusaha untuk mengingat dan mengungkap masa lalu mereka yang tentu adalah sangat indah. Makan nasi dengan goreng tempe sudah tidak senikmati zaman dulu, dan makan nasi hangat dengan ikan peda dan pete bakar juga tidak selezat zaman dulu. Semua bernostalgia. Mereka mengobrol “ngetan ngulon”, tidak peduli kemarin-kemarin ikut mendukung paslon yang mana, dan mereka asik bercengkerama dengan tidak peduli ikut sholat Eid di masjid atau di lapangan. Mereka pulang ke kampung halaman untuk mengasah rasa, mengendapkan hawa yang lama terkontaminasi polusi pemikiran pang ping pong kota besar, dan mereka ingin “mencandra jati diri” bahwa bermudik adalah merasakan seindah-indah kehidupan, karena saat di kota barangkali selalu dikejar banyak tagihan proposal, kenaikan pangkat, saling berkejaran dengan kehidupan angkot dan KRL, atau berbalap dengan setoran bulanan yang harus dipenuhi.
Mudik adalah rindu. Rindu kampung halaman dan rindu untuk siapa saja.
Surabaya, 7 April 2024 / 28 Ramadan 1445 H
Waw, mantap sekali
Selamat mudik Bapak Ibu semua
Barokallah
Selamat berlebaran bersama keluarga
Mantap Prof. Imam
Sensei kita
Masya Allah motivasi dari Sensei kita Prof. Imam Robandi yang kemarin menulis di WhatsApp bahwa Sensei dikirimi foto pasar pagi. Alhamdulillah saya langsung menanggapi. Terima kasih Prof. Imam Robandi yang telah menyertakan foto pasar Salaju Birugo dalam tulisan ini. Alhamdulillah, ada istilah yang cepat pasti dapat, tetapi tetap memenuhi ketentuan.
Indahnya menikmati pasar Tradisionil tiap daerah.
Selamat Mudik Prof. dan Sahabat IRo-Society.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H. Minal Aidin Walfa’idzin Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Selamat berlebaran bu umi
Keren bidikan amak Syofni
Indahnya pasar tradisional,
Indahnya Ramadan
Indahnya Lebaran
Indahnya kekeluargaan, persahabatan dan kebersamaan
Selamat mudik, fii amanillah.
Happy Ied Fitri…
Mohon maaf lahir dan bathin sahabat IRo Society …
Selamat berlebaran bersama keluarga
Membaca narasi tulisan Prof, saya merasakan ‘perjalanan’ mudik. Seolah-olah ikut dalam kegiatan tersebut. Membayangkan saya ada di tengah-tengah mereka, di pasar, di jalan raya, menikmati hidangan lokal, merasakan kebahagiaan. Saya tidak mudik karena kampung halaman saya dekat dengan tempat tinggal saya. Bisa dicapai hanya 30-45 menit saja. Tetapi saya terbawa arus bahagia dengan hiruk pikuk mudik dari tulisan Prof Imam Robandi. Terima kasih Prof. Selamat mudik, selamat berbahagia di kampung tanah kelahiran yang adem ayem.
Terima kasih
Tulisan Prof. Imam selalu mobat-mabit dan fresh. Gambar-gambar pasar di berbagai daerah semakin memperindah tulisan ini.
Matur nuwun bunda
Setiap kesempatan menjadi indah dengan mengabadikannya. Suatu saat menjadi kenangan inspiratif.
Terima kasih ustadz
Prepegan….Luar Biasa Prof. Imam.
Ramainya pasar pagi dapat terukir indah. Membuat mobat mabit.
Matur nuwun bunda