Oleh : Imam Robandi (Akademisi Bertinggal di Surabaya)
Joheun Achimimnida, saya mengucapkan ini semoga dapat dibaca pagi hari untuk menyemangati para penggemar sepak bola Indonesia, yang minggu-minggu ini sedang ramai dibahas oleh siapa saja. Beberapa murid saya dari Korea memberi informasi ke saya, bahwa mereka mendukung team Indonesia yang sedang berlaga di Qatar. Hore, hore, hore, saya menjawab ‘kamsahamnida’. Luar biasa, dengan sepak bola kita menjadi bersahabat, dengan bersepak bola kita dapat tersenyum bersama. Saya menjadi mengulik tentang Kabupaten Yeongdeok yang merupakan tempat kelahiran Shin Tae-yong (신태용 dalam Korean, 申台龍 dalam Kanji), nah akibat sepak bola.
Saya sedang bersantai pada Hari Ahad, untuk mengendorkan otot dan saraf, dan juga pegal-pegal. Sedikit mengulik tentang nama Hari Minggu. Dominicus adalah hari Tuhan, yang berasal dari bahasa Latin. Orang Portugis menyerap menjadi kata Domingo, dan kita menyerap menjadi Hari Minggu. Kakek saya kalau minyebut Hari Minggu dengan sebutan Hari Ahad, atau hari pertama. Orang Nippon menyebutnya dengan Nichiyoubi (日曜日) atau hari matahari, hari keduanya adalah Kayoubi (火曜日) atau hari bulan. Karena memang para orang Jepang (Nihonjin, 日本人) di zaman dulu sebagian besar adalah penyembah Dewa Matahari. Apapun sebutannya hari Minggu banyak manusia sibuk terutama para supporter bola-sepak Asian Cup di Qatar yang sedang menyiapak diri untuk masuk ke final, dan di dalam negeri KangMas Prabowo Subianto dan team juga sedang mengotak-atik bagi-membagi jatah menteri untuk para kolega dan perewang kemenangannya. Para penggede partai juga tentu tidak ketinggalan harus selalu saling dekat untuk mendekatkan diri agar tidak ketinggalan kereta. Begitu juga di ranah local tidak sedikit yang baru saja dilantik menjadi rector yang sedang sibuk dengan rekrutmen jabatan untuk para kawannya yang telah menjadi team sukses. Apapun kesibukkannya, yang paling penting adalah semoga semua dapat merasakan kebahagiaan.
Setelah hari raya, acara paling banyak adalah kondangan. Banyak berkumpul, dan masih banyak yang belum bepergian jauh, paling minimal adalah setelah lebaran kupat. Dari sana-sini mengundang untuk ‘jagong’ manten, atau kondangan. Memanfaatkan bulan Syawal mumpung masih penuh semangat, aktivitas menjadi begitu bertenaga. Sehari dapat pindah tempat kondangan dengan ‘njagong’ sana-sini sampai tiga kali. Ada acara mantenan dengan hiburan band guitar, ada yang memakai gamelan neng nong neng gung, ada yang nyampursari, dan ada juga yang hanya menyetel mp-tiga dengan sound system menggelegar dipasang di tengah jalan yang satu paket dengan tarobnya. Semua acara hajatan dipresentasi dengan keunikan masing-masing dan rasa yang tentu sangat merasuk di hati, Bulan Syawal, Apit (Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijah) adalah bulan-bulan istimewa untuk orang Jawa (terutama) mengadakan hajatan. Pada bulan-bulan ini di kampung adalah sangat sibuk dengan berbagai persiapan. Karena kalau ada hajatan tiba di kampung, satu bulan sebelumnya sudah sangat ramai dan ‘anget’ suasananya. Keluarga jauh sudah mulai berdatangan, tetangga dengan juga sudah mulai membantu kegiatan hajatan. Ada yang menyumbang beras, minyak, kayu bakar, kelapa, dan yang lain. Di dapur juga sudah mulai ada yang membuat jenang, ada yang menggoreng kerupuk, peyek, dan rengginang, dan ada juga yang mengecat rumah, memperbaiki pagar, jalan, dan kegiatan lain dan uborampenya.
Seperti biasa, ada tiga puluh menitan untuk saya harus memegang PSR Yamaha untuk mengolah rasa pada Minggu malam. Santai wae kata orang Solo, dan mengulik lagu sesuai keinginan jari kanan-kiri. Mau jaz juga boleh, keroncongan juga ada, mau bluegrass juga sangat tersedia. Sayang sekali, duren dari Pasar Pasrepan di Kab. Pasuruan yang saya beli kemarin pagi masih belum menunjukkan karakternya, mungkin masih harus menunggu satu minggu lagi. Memang buah-buah dari Pasar Pasrepan akhir-akhir ini adalah sangat digemari oleh para pencinta buah domestik, karena kualitasnya. Cukup tiga puluh menit dengan lagu Tatu diblueskan, sudah dapat mengubah suasana malam ‘hari Domingo’. Sanadyan kowe ngilang, ra bisa tak sawang, nanging, sebuah syair indah karya Didi Kempot. Tentu tidak ketinggalan, karena keyboard Yamaha harus ditemani dengan pisang rebus yang fuwa-fuwa, hasil bumi petani Lereng Tengger.
Setelah Hari Ahad adalah Hari Senin, sebagai guru kembali ke ruang kuliah mendidik anak bangsa dan tidak ketinggalan ‘menyecopuskan diri’, login ini, login itu, zoom ini, zoom itu untuk meramaikan kehiruk-pikukan dunia, dan tetap menyemangati para pemain Garuda U-23 untuk menjadi yang terbaik di Asia, dan Qatar akan menjadi saksinya. Senyuman Shin Tae-yong, akan menjadi senyuman Indonesia.
Surabaya, April 28, 2024
Tulisan Prof. Imam, meskipun lompat-lompat tapi sangat enak dibaca.
Barokallah
Matur nuwun Mbak Silvia
sami-sami bu dokter
Style Robandian, kapan dan di manapun selalu enak dibaca, membuat kita terinspirasi ingin terus belajar dan meniru gaya Prof. Imam dalam menulis. Terima kasih Prof., terima kasih Mbak Silvi telah berbagi cerita.
sami-sami bu Umi
Haha.. sarapan pagi aq pagi ini kopi panas komplit bareng Shin Tae Yong.
Bacaan yang asik, kenyang, happy.
Thank u Prof. Imam, Mbak Silvi
Luv u both
Terima kasih bu doktor, sudah berkenan singgah dan menyicip sarapan STY